BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »
Tampilkan postingan dengan label puisi iseng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label puisi iseng. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 April 2009

Di dalam ramai aku diam.
Di dalam diam aku bernyanyi sendiri.
Senyumnya pekat, tapi terlihat kosong.
Aku tahu itu dari sinar matanya.

Tidak seperti waktu itu, saatku tertawa lepas.
Tidak perduli angin, tidak perduli debu.
Hanya awan mengiringiku.
Bersama hatiku, langkahnya seiring dengan langkahku.

Aku melompat, dia ikut melompat.
Aku berlari, dia mengejarku.
Selalu terikat, tak pernah lepas.

Terus saja kulihat detik itu bergoyang,
melompat cepat
Hati dan jiwaku sudah termakan habis oleh katamu yang terlampau panas
Apinya membara sampai ke pelupuk mata, susah untuk padamkan itu!
Kulihat kau berusaha untuk pahami sampai laput,
tak usah lah, apinya tak bisa padam
Penat menyelimutiku,
kapan bisa terobati?
Jika terus begini jiwaku bisa mati
Tinggalkan aku sendiri dan biarkan aku tenang bersama angin

Siluet kekuningan marah, memerah, gelisah.
"Tutup lukisan permadani kosong itu!" katanya.
Detik jarum jam itu tak berkutik, melihat ombak menggulung pasir sampai hilang.
Rintihannya serupa awan, kosong tak berbunyi.
Terlihatnya seperti tak perduli, tetapi kalbunya membiru tanda goresan luka.
Membisu lemah, mungkin hanya itu takdirnya.

Sekarang cahayanya menusuk sukma dingin
Tahtanya jadi rimba semati tugu
Aku terdiam menunggu pagi,
namun senjaku tak juga datang
Inginku hanya semu belaka,
mimpi yang suram tak berarah
Andai mentari di silauan pelangi
turun, jatuh, dan terpuruk
mungkin cakra hitam kelabu itu pun akan bangkit,
berubah menjadi semburat garis penuh tawa
Itu pun tak akan merubah kerasnya titik harapan
menjadi sebiru kapur